Tugas Makalah
UTANG PIUTANG DAN GADAI
DALAM HUKUM ISLAM
Disusun Oleh :
Nama: JAMAL ARIFUDIN
NPM: 020312071
Kelas: III SP A
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2014
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………....................i
DAFTAR ISI..............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................2
B. Rumusan Masalah.............................................................3
C. Tujuan Makalah.................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
UTANG PIUTANG DAN GADAIDALAM HUKUM ISLAM
A. UTANG PIUTANG
1. Pengertian Utang Piutang............................................................4
2. Hukum Utang Piutang.................................................................6
3. Prinsip-prinsip Dasar Utang Piutang............................................8
4. Peringatan Keras Tentang Utang Piutang..................................10
5. Rukun dan Syarat Hutang Piutang.............................................11
6. Adab islami dalam utang piutang................................................11
B. GADAI (AL-RAHN)
1. Pengertian dan Dasar Hukum....................................................16
2. Rukun Gadai............................................................................16
3. Pengambilan Manfaat Barang Gadai..........................................17
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan kehadirat kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan uraian makalah tentang “UTANG PIUTANG DAN GADAI DALAM HUKUM ISLAM”.
Makalah ini disusun sebagai syarat dalam mengikuti semester mata kuliah Hukum Bisnis Universitas Khairun.
Makalah ini merupakan wujud kontribusi kepada dunia pendidikan ditanah air. Kemajuan zaman dan perkembangan dunia yang semakin maju menuntut kita agar menjadi generasi yang cerdas, terampil, kreatif, mandiri dan memiliki kepribadian yang sesuai dengan budaya bangsa. Sehingga memiliki daya saing yang tinggi juga berkarakter dan berakhlak mulia.
Saya menyusun makalah ini bersumber dari internet standar isi 2013 dan darii beberapa buku dan akan selalu berusaha menyesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Saya menyadari makalah ini masih banyak kekurangan sehingga kritik dan saran sangat dibutuhkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya saya memanjatkan do’a kepada Allah SWT. Semoga berkenan melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan pikiran, moral, maupun materi dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga uraian makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Ternate, 29 Desember 2013
JAMAL ARIFUDIN
NPM: 020312071
1 |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya utang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
Islam mengatur hubungan yang kuat antara akhlak, akidah, ibadah, dan muamalah. Aspek muamalah merupakan aturan main bagi manusia dalam menjalankan kehidupan sosial, sekaligus merupakan dasar untuk membangun sistem perekonomian yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ajaran muamalah akan menahan manusia dari menghalalkan segala cara untuk mencari rezeki. Muamalah mengajarkan manusia memperoleh rezeki dengan cara yang halal dan baik. Dalam khazanah fiqh, kata pinjam-meminjam uang secara kebahasaan berasal dari kata al-qardl yang berarti hutang-piutang. Dalam pengertian yang umum, hutang-piutang mencakup transaksi jual beli dan sewa menyewa yang dilakukan secara tidak tunai.
2 |
Makalah ini akan membahas tentang hutang, yang bersumber dari hadits-hadits nabi Muhammad SAW. Dalam makalah ini kita akan mendapat jawaban dari pertanyaan itu semua, semoga makalah ini sesuai dengan yang kita harapkan dan menambah pahala bagi penulis dan juga para membaca untuk mengamalkannya.
B. Rumusan Makalah
1. Apa pengertian utang piutang?
2. Bagaimana hukum utang piutang?
3. Bagaimana peringatan keras tentang utang?
4. Bagaimana syarat piutang menjadi amal sholih?
5. Bagaimana adab islami dalam utang piutang?
6. Bagaimana hukum bunga bank?
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui apa pengertian utang piutang
2. Mengetahui bagaimana hukum utang piutang
3. Mengetahui bagaimana peringatan keras tentang utang
4. Mengetahui bagaimana syarat piutang menjadi amal sholih
5. Mengetahui bagaimana adab Islami dalam utang piutang
6. Mengetahui bagaimana hukum bunga bank
3 |
BAB II
PEMBAHASAN
UTANG PIUTANG DAN GADAI
DALAM HUKUM ISLAM
A. UTANG PIUTANG
1. Pengertian Utang Piutang
Di dalam fiqih Islam, utang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan utang.
Adapun definisi secara syara’ adalah memberikan harta kepada orang yang mengambil menfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan gantinya. Menurut Dimyauddin, qardh merupakan akad peminjaman harta kepada orang lain dengan adanya pengembalian semisalnya. Sedang menurut Moh. Saifullah, qardh adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar atau mengembalikan barang tersebut dengan jumlah yang sama.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa pengertian qard yang disampaikan beberapa pakar hukum Islam (fuqaha’) sebagai berikut;
1. Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah memberikan definisi qard sebagai harta yang diberikan oleh pemberi pinjaman kepada penerima dengan syarat penerima pinjaman harus mengembalikan besarnya nilai pinjaman pada saat mampu mengembalikannya (Sabiq, 1987: 144).
2.
4 |
3. Berbeda dengan pengertian-pengertian di atas, Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan utang piutang dengan akad yang dilakukan oleh dua orang di mana salah satu dari dua orang tersebut mengambil kepemilikan harta dari lainnya dan ia menghabiskan harta tersebut untuk kepentingannya, kemudian ia harus mengembalikan barang tersebut senilai dengan apa yang diambilnya dahulu (Shiddieqy, 1997: 103).
Dalam masyarakat Indonesia, selain dikenal istilah utang piutang juga dikenal istilah kredit. Utang piutang biasanya digunakan oleh masyarakat dalam kontek pemberian pinjaman pada pihak lain. Seseorang yang meminjamkan hartanya pada orang lain maka ia dapat disebut telah memberikan utang padanya. Sedangkan istilah kredit lebih banyak digunakan oleh masyarakat pada transaksi perbankan dan pembelian yang tidak dibayar secara tunai. Secara esensial, antara utang dan kredit tidak jauh beda dalam pemaknaannya di masyarakat.
Sedangkan dalam terminologi fiqh mu’amalah, utang piutang disebut dengan “dain” (دين). Istilah “dain” (دين) ini juga sangat terkait dengan istilah “qard” (قرض) yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinjaman. Dari sini nampak bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara “dain” (دين) dan “qard” (قرض) dalam bahasa fiqh mu’amalah dengan istilah utang piutang dan pinjaman dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pemikiran di atas, maka dalam mengkaji masalah utang piutang, kredit, pinjaman, pembiayaan ataupun qard harus dijelaskan satu persatu agar jelas perbedaan dan persamaannya.
Pertama, dalam terminologi fiqh mu’amalah, pinjaman yang mengakibatkan adanya utang disebut dengan “qard” (قرض). Qard (قرض) dalam pengertian fiqh diartikan sebagai perbuatan memberikan hak milik untuk sementara waktu oleh seseorang pada pihak lain dan pihak yang menerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan tanpa mengambil imbalan, dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya kepada pihak pemberi pinjaman (Jamali, 1992: 162).
Kedua, dalam bahasa perbankan pemberian utang atau pembiayaan disebut dengan “kredit”. Kata “kredit” secara kebahasaan berasal dari kata credo yang dalam pengertian keagamaan berarti kepercayaan..
5 |
2. Hukum Utang Piutang
Hukum Utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya utang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah swt:
(245) مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi saw pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan utang.”
Utang piutang secara hukum dapat didasarkan pada adanya perintah dan anjuran agama supaya manusia hidup dengan saling tolong menolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan.
Selanjutnya, dalam transaksi utang piutang Allah memberikan rambu-rambu agar berjalan sesuai prinsip syari’ah yaitu menghindari penipuan dan perbuatan yang dilarang Allah lainnya. Pengaturan tersebut yaitu anjuran agar setiap transaksi utang piutang dilakukan secara tertulis. Karena pemberian utang pada sesama merupakan perbuatan kebajikan, maka seseorang yang memberi pinjaman, menurut pakar hukum Islam, tidak dibolehkan mengambil keuntungan (profit).
6 |
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta yang beredar diantaramu secara bathil, kecuali terjadi transaksi suka sama suka. Jangan pula kamu saling membunuh. Allah sangat saya kepadamu semuanya.” (Dahlan, 2000: 146).
Salah satu transaksi yang termasuk baţil adalah pengambilan riba. Riba berdasarkan penjelasan para mufassir, baik dalam bentuk definisi maupun gambaran praktis di masa Jahiliyyah, menurut Qardhawi (2001: 76-78), maka riba yang maksud dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
3. Riba itu terjadi karena transaksi pinjam meminjam atau hutang piutang
4. Ada tambahan dari pokok pinjaman ketika pelunasan
5. Tambahan dimaksud, dimaksudkan terlebih dahulu
6. Tambahan itu diperhitungkan sesuai dengan limit waktu peminjaman.
Dalam perspektif ekonomi, (Razi, 1938: 87-88) mengemukakan ulasan yang cukup baik dalam mengungkap sebab dilarangnya riba. Sebab-sebab tersebut antara lain:
1. Riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta dari orang lain tanpa ada imbalan. Boleh saja orang berdalih bahwa keuntungan akan diperoleh seandainya harta yang dipinjamkan pada orang lain itu dijadikan modal dagang. Tetapi keuntungan yang akan diperoleh pihak peminjam itu sifatnya belum pasti. Sebaliknya, pemungutan “tambahan” oleh pemberi pinjaman itu adalah hal yang pasti, tanpa resiko.
2. Riba menghalangi pemodal ikut berusaha mencari rezeki karena ia dengan mudah membiayai hidupnya dengan bunga, hal ini akan mengakibatkan distorsi dalam masyarakat.
3. Bila diperbolehkan, maka masyarakat dengan maksud memenuhi kebutuhannya, tidak segan meminjam uang walaupun sangat tinggi bunganya. Hal ini akan mengelmiinir sifat tolong menolong, saling menghormati dan perasaan berhutang budi.
4. Dengan riba, pemilik modal akan semakin kaya, sementara pihak peminjam akan semakin miskin. Jadi riba bisa menjadi media bagi orang kaya untuk menindas orang miskin.
5. Larangan riba sudah ditetapkan oleh nas, dimana tidak harus seluruh rahasia tuntutannya diketahui oleh manusia. Keharamannya itu pasti, kendati orang tidak mengetahui persis segi pelarangannya.
7 |
3. Prinsip-prinsip Dasar Utang Piutang
Utang piutang merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kegiatan ekonomi yang dikembangkan dan berlaku di masyarakat. Sebagai kegiatan ekonomi masyarakat, utang piutang mempunyai sisi-sisi sosial yang sangat tinggi. Selain itu, utang piutang juga mengandung nilai-nilai sosial yang cukup signifikan untuk pengembangan perekonomian masyarakat.
Islam sebagai agama yang universal dan menyeluruh (kamil dan syamil), memandang kegiatan ekonomi, di mana utang piutang juga termasuk di dalamnya, sebagai tuntutan kehidupan manusia. Di sisi lain, kegiatan ekonomi merupakan salah satu kegiatan yang dianjurkan dan memiliki dimensi ibadah dalam intensitas yang cukup signifikan (Lubis, 2000: 1)
Dalam konsep Islam, utang piutang merupakan akad (transaksi ekonomi) yang mengandung nilai ta’awun (tolong menolong). Dengan demikian utang piutang dapat dikatakan sebagai ibadah sosial yang dalam pandangan Islam juga mendapatkan porsi tersendiri. Utang piutang juga memiliki nilai luar biasa terutama guna bantu membantu antar sesama yang kebetulan tidak mampu secara ekonomi atau sedang membutuhkan. Dari sini maka utang piutang dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk transaksi yang mengandung unsur ta’abbudi (Karim, 1997: 38)
Secara mendasar, karena sifat dan tujuan utang piutang tolong menolong, maka transaksi ini terlepas dari unsur komersial dan usaha yang berorientasi pada keuntungan (profit orientit). Karena itulah para ulama’ berpendapat bahwa utang piutang itu hukum asalnya sunnah (Karim, 1997: 38).
Dalam kajian fiqh, seseorang yang meminjamkan uang pada orang lain tidak boleh meminta manfaat apapun dari yang diberi pinjaman, termasuk janji dari si peminjam untuk membayar lebih. (Zuhaily, 1989: 475).
Namun apabila pihak yang menerima pinjaman ketika mengembalikan pada waktu yang telah ditentukan menambahkan dengan yang lebih baik yang tidak disertai syarat-syarat tertentu baik sebelum maupun sesudahnya, maka hal itu termasuk perbuatan yang baik. Pada era modern ini, hal inilah yang sering dipraktekkan dalam bank syari’ah. Dalam bank syari’ah hal ini diterapkan dengan bentuk produk qard al-hasan (Karim, 2001: 109-110).
8 |
Hukum utang piutang bisa juga haram apabila diketahui bahwa dengan berutang seseorang bermaksud menganiaya orang yang mengutangi atau orang yang berutang tersebut akan memanfaatkan orang yang diutanginya untuk berbuat maksiat. Dalam kasus demikian, maka utang piutang yang berorientasi pada perbuatan tolong menolong dalam kemaksiatan. Maka dari itu, berdasarkan pada kondisi yang amat bervariasi, hukum utang piutang pun amat bervariasi pula, seperti wajib, haram, makruh dan mubah (Karim, 1997: 38-39).
Basyir (2000: 15-16) menemukan rumusan prinsip-prinsip fiqh mu’amalah sebagai berikut;
1. Pada dasarnya segala bentuk mu’amalah (transaksi) hukumnya mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Prinsip ini mengandung pengertian bahwa hukum Islam memberikan kesempatan seluas-luasnya dalam pengembangan bentuk dan macam-macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup dari suatu masyarakat.
2. Mu’amalah (transaksi) dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
3. Mu’amalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari bahaya (madarat) dalam kehidupan masyarakat. Prinsip ini menghendaki bahwa suatu transaksi harus dilakukan berdasarkan pertimbangan pengambilan manfaat dan menghindari bahaya dalam hidup, baik untuk satu pihak maupun kedua belah pihak. Salah satu bentuk transaksi yang berakibat pada penyebaran bahaya di masyarakat adalah transaksi narkotika.
4. Mu’amalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, dan unsur-unsur yang mengarah pada pengambilan kesempatan dalam kesempitan (maisir, riba, gharar, dan bathil). Prinsip ini menentukan bahwa segala bentuk transaksi yang mengandung unsur penindasan dan kesewang-wenangan tidak dibenarkan dalam Islam.
9 |
4. Peringatan Keras Tentang Utang Piutang
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi saw pernah berutang. Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena utang, menurut Rasulullah saw, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Utang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah saw (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah saw pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah saw bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash).
Diriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah saw, bahwa Beliau bersabda:
»مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ«
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan utang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda:
« نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ »
“Jiwa orang mukmin bergantung pada utangnya hingga dilunasi.” (HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda:
« مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ »
10 |
5. Rukun dan Syarat Hutang Piutang
a. Rukun hutang piutang
1. Lafadh dari orang yang hutang, bisa lewat lisan atau tulisan (ijab qabul).
2. Orang yang hutang (muqtaridh) dan yang menghutangi (muqridh).
3. Barang yang dihutangkan.
b. Syarat hutang piutang
1. Orang yang memberikan hutang adalah orang yang memiliki kompetensi (ahliyah dan wilayah).
2. Harus dilakukan dengan adanya ijab qabul, karena mengandung pemindahan kepemilikan kepada orang lain.
3. Harta yang dipinjamkan bisa diketahui jumlah dan ciri-cirinya, agar dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
6. Adab islami dalam utang piutang
Bagaimana Islam mengatur berutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:
1. Utang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282(
11 |
2. Pemberi utang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berutang.
Kaidah fikih berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap utang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
3. Melunasi utang dengan cara yang baik
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
12 |
“Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Nabi mempunyai utang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah swt membalas dengan setimpal”. Maka Nabi saw bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (utang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)
4. Berutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a. Berutang untuk menutupi utang yang tidak terbayar
b. Berutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah utang agar mau memberi.
d. Berutang dengan niat tidak akan melunasinya.
5. Berupaya untuk berutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa n menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah.
6. Tidak berutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.
7. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan utang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang mengutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi saw:
13 |
“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”.)
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.
8. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang mengutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah utang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
9. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ »
Dari Samurah, Nabi saw bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tir midzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya.)
10. Diperbolehkan bagi yang berutang untuk mengajukan pemutihan atas utangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini (artinya):
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan utang. Maka aku memohon kepada pemilik utang agar mereka mau mengurangi jumlah utangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi saw meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau saw berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau saw pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405)
11. Bersegera melunasi utang
14 |
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ »
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Memperlambat pembayaran utang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”. (HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978, dari hadits Abu Hurairah.)
12. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi utangnya setelah jatuh tempo.
Allah swt berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
15 |
B. GADAI (AL-RAHN)
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Secara etimologi, gadai (al-rahn) yaitu pemenjaraan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat.[5] Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi al-rahn yang dikemukakan para ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan: Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan : Menjadikan sesuatu sebagai jaminan terhadap hak yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak itu, baik seluruhnya maupun sebagian.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan : Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.[6]
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan adalah firman Allah swt. berikut:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang” (QS. Al-Baqarah: 283)
2. Rukun Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain:
a. Lafadz ( ijab dan qabul )
b. Aqid, yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin).
c. Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.
d. Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
16 |
3. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Jumhur ulama fiqh, selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya utangnya, ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya.
Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkannya, karena dengan adanya izin, tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang jaminan itu. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah lainnya, Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Karena, apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syara’, sekalipun diizinkan pemilik barang.[7]
Orang yang memegang barang gadaian boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan hanya sekedar mengganti kerugiannya untuk menjaga barang itu.
Sabda Rasulullah Saw.
اِذَاارْتُهِنَ شَاةٌ شَرِبَ المُرْتَهِنُ مِنْ لَبَنِهَا بِقَدْرِ عَلْفِهَا فَاِنِاسْتَفْضَلَ مِنَ اللَبَنِ بَعْدَ ثَمَنِ العَلْفِ فَهُوَ رِبَا[8]
17 |
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qardh (hutang piutang) pada intinya adalah perbuatan atau aktifitas yang mempunyai tujuan untuk membantu orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan berupa materi, seperti uang.
Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.
Hukum Utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya utang piutang.
Islam menyuruh umatnya agar menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena utang, menurut Rasulullah saw, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Utang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah saw (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Syarat Piutang Menjadi Amal Sholih: Harta yang diutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, Pemberi piutang tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman, Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.
Adab Islami dalam Utang Piutang: (1) Utang piutang harus ditulis dan dipersaksikan, (2) Pemberi utang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berutang, (3) Melunasi utang dengan cara yang baik, (4) Berutang dengan niat baik dan akan melunasinya, (5) Berupaya untuk berutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal, (6) Tidak berutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak, (7) Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan utang atau peminjaman, (8) Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, (9) Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin, (10) Diperbolehkan bagi yang berutang untuk mengajukan pemutihan atas utangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya, (11) Bersegera melunasi utang, dan (12) Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi utangnya setelah jatuh tempo.
Sedangkan Rahn (gadai) tidak jauh berbeda dengan qardh, hanya dalam rahn ketika seseorang membutuhkan bantuan materi, seperti uang. Orang yang meminjam tadi memberikan barang berharga miliknya kepada orang yang meminjami uang tadi sebagai jaminan.
B. Saran
Dalam kehidupan sehari – hari dianjurkan agar kita tidak terlalu memiliki banyak hutang kepada siapapun, baik kepada seseorang maupun persuahaan atau instansi pemerintah. Namun jika kedaan kita mendesak dan tidak ada jalan lain selain berhutang, maka berhutanglah kita. Namun sebelum kita berhutang, terlebih dahulu kita harus menanyakan syarat syarat dan ketentuan cara mengembalikan hutang tersebut. Tetapi jangan lah kita berhutang melebihi batas kemampuan kita untuk mengembalikan hutang kita tersebut. Karna jika hutang tersebut tidak terbayar hingga kita wafat, maka hutang tersebut akan di pertanyakan kelak. Kecuali jika saudara atau orang terdekat kita mengetahui hutang kita dan mereka mau menanggung hutang kita untuk membayarnya.
Itulah sedikit saran dari saya mengenai hutang. Jika saran saya kurang membangun, tolong di maklumi. Karna saya sebagai mahasiswa adalah untuk belajar bagaimana menjadi manusia yang dapat berguna bagi masyarakat banyak.